- Sumur – Eka Kurniawan
Satu per satu orang meninggalkan kampung itu. Jika tak pindah ke tempat lain dan menetap di sana, mereka pergi ke kota mencari pekerjaan. Bagi yang tersisa, mereka harus bertahan dalam pertarungan untuk memperoleh air, dari hari ke hari. Kini satu-satunya sumber air yang bisa mereka andalkan hanyalah sebuah sumur di lembah. Sumur itu merupakan lubang satu-satunya yang mengeluarkan air. Tak ada yang mengira, sumur itu pula yang akan menjadi saksi bisu sebuah kisah cinta dan tragedi yang mengiringinya.
2. Entrok – Okky Madasari
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh? Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri. Adakah yang salah jika mereka berbeda?
Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu. Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata. Kisah yang menyentuh mengenai perjuangan wanita pada zaman-zaman menentukan dalam perjalanan sejarah Indonesia.
3. Di Tanah Lada – Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie
Novel Di Tanah Lada berkisah tentang seorang anak bernama Salva. Panggilannya Ava. Namun papanya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Ava sekeluarga pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal. Kakek Kia, ayahnya Papa, pernah memberi Ava kamus sebagai hadiah ulang tahun yang ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa Inggris. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.
4. Musim Kupu-Kupu Kuning – Vanni Puccioni
Pada musim kupu-kupu kuning tahun itu, armada pemerintah kolonial Belanda tiba di Teluk Lagundri. Kembalinya pasukan kulit putih itu terasa mencurigakan hingga desa-desa Nias Selatan yang biasanya berseteru memutuskan untuk menggabungkan kekuatan. Sayangnya, mereka gagal mencegah Belanda mendirikan benteng. Kehadiran pasukan Belanda menggoyahkan tatanan hidup di Nias Selatan dan mendorong persekongkolan antara Galifa, syaman muda yang haus kekuasaan, dengan pihak musuh. Namun selain pengkhianatan, lahir pula persahabatan tak terduga antara Tuha sang Syama Agung Bawomataluo dengan Klint, misionaris pemberontak yang dihantui rasa bersalah. Ini adalah kisah bertemunya dua dunia yang bertolak belakang, tentang tumbuhnya persahabatan yang begitu menyentuh hingga mampu membangkitkan sang roh agung.
5. Perjalanan Menuju Pulang – Lala Bohang & Lara Nuberg
Perjalanan Menuju Pulang – Kisah Perempuan di Antara Ruang & Waktu menghimpun banyak cerita, surat, ilustrasi, serta pertanyaan yang dieksplorasi bersama oleh Lala Bohang, penulis dan seniman visual Indonesia, dan Lara Nuberg, sejarawan dan penulis Indo Belanda, dalam suatu program yang mempertemukan dan membawa mereka dalam penjelajahan batin yang bermakna.
Pada saat dunia sudah meninggalkan kolonialisme dan pascakolonialisme, kita memasuki tahap baru dalam sejarah. Di masa depan, imperialisme Eropa akan tampak demikian jauh, seperti kekaisaran Romawi bagi kita sekarang. Pada tahun-tahun mendatang, anak-anak yang dilahirkan pada abad setelah Perang Dunia Kedua akan memandang sejarah dengan lebih luas dan lebih terang. Lala, Lara, beserta buku mereka ini merupakan bukti nyata. – Ayu Utami, penulis.
Dalam masa polarisasi yang melanda seluruh dunia, penting bagi warga negara-negara merdeka yang terbelit dan terjalin oleh kolonisasi berpuluh tahun lalu untuk menjaga jalur dialog terbuka. Dekolonisasi merupakan proses yang jauh lebih panjang ketimbang momen proklamasi kemerdekaan dan perjuangan akan pengakuan yang mengikutinya. Apakah Peranakan yang hidup di negara mantan penjajah menghadapi persoalan yang berbeda perihal akar campuran dan masa lalu mereka dibandingkan dengan Peranakan yang hidup di negara bekas jajahan yang sudah merdeka? Sungguh menarik mengetahui bagaimana dua penulis dari generasi ketiga, Lara (lahir di Belanda) dan Lala (lahir di Indonesia), berdialog tentang ikatan mereka masing-masing dengan masa lalu leluhurnya. – Marion Bloem, penulis.