- Mengheningkan Cinta Oleh Adjie Santosoputro
Perkenalkan namaku Sunyi.
Teman-teman menganggapku pendiam.
Mungkin karena ketika tak larut dalam ramai aku bisa bertemu dan mengenal diriku sendiri.
Berbicara dengan Sunyi kerap menjadi kebiasaanku.
Tak hanya ketika aku tiba-tiba merasa sedih, ingin menangis, merasa kesepian, atau tiba-tiba ingin marah.
Aku juga berbicara kepadanya ketika aku punya segudang pertanyaan.
Apakah yang sebaiknya aku lakukan saat perasaan itu datang?
Mengapa ketika aku berusaha tak memikirkannya, bahkan menganggapnya sebagai hal yang remeh, perasaan itu malah mungkin menguat dan kian mengganggu.
Di sini aku berusaha menuliskan kembali semua perbincanganku bersama Sunyi.
Perbincangan yang menjawab banyak pertanyaan.
Karena bersama Sunyi aku merasa lebih nyaman dengan pola pikir “penerimaan pada saat ini”.
Tidak terlalu menyesal akan masa lalu yang selalu tidak memberi kabar baru.
Tidak begitu bergelisah akan masa depan yang selalu menawarkan ketidakpastian.
Mengalir saja bersama cinta.
2. Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja Oleh Alvi Syahrin
Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja
Bagaimana caranya aku bisa mencintai diriku ketika yang kulakukan kepada diriku adalah kesalahan-kesalahan bodoh tanpa hentinya?
Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja
Susah mencintai seseorang yang terus melakukan kesalahan, lantas bagaimana kalau diri ini yang terus melakukan kesalahan? How can I even start loving myself?
Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja
Lalu, bagaimana caranya aku bisa menerima segala kekuranganku?
Bagaimana aku bisa menjadi diriku sendiri kalau aku sendiri tidak suka diriku sendiri?
Kita pernah mengalami krisis, tak pernah baik-baik saja menerima keadaan dan menyalahkan diri sendiri. Mengarungi hidup adalah tentang seni mencintai—termasuk mencintai diri sendiri dengan segala kekurangan, dan berusaha memperbaikinya. Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja, mengajak kita mengenal arti kecewa dan bahagia demi mencintai diri sendiri dan sesuatu yang lebih dari segalanya.
3. A Handbook for Self-Love Oleh Astrid Savitri
Musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Kita bisa saja mengabaikan orang lain yang membenci dan mengkritik, tapi lain halnya jika si pembenci dan si pengkritik itu adalah diri sendiri. Pada kenyataannya, perasaan tidak berharga dan benci diri menjadi sesuatu yang sangat membatasi hidup kita. Terkadang kita juga tidak peduli dengan diri sendiri dan lebih mementingkan untuk membuat bahagia orang lain meskipun sebenarnya diri kita sedang terluka dan juga butuh diperhatikan. Kita perlu mencintai diri sendiri lebih dari apapun, mengapa mencintai diri itu penting? Hukum terpenting semesta adalah cinta, dan cinta itu dimulai di dalam diri, untuk diri sendiri. Itu adalah inti dari keberadaan kita. Hanya dengan bergerak mendekat untuk mencintai sepenuhnya siapa diri pada saat ini, kita dapat bergerak lebih dekat ke kehidupan yang bahagia dan bebas.
Buku ini lahir dari kepedulian ketika melihat begitu banyak orang yang merasa benci diri atau tidak tahu bagaimana harus cinta diri, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat unik dan berbakat. Melalui buku ini, yuk kita belajar cinta diri sehingga dapat menemukan kebahagiaan melaui cinta diri.
4. Going Offline Oleh Desi Anwar
Melalui media sosial dan realitas virtual, kehidupan online membuat kita terus terhubung dan selalu aktif. Ponsel cerdas kita adalah benda pertama yang kita raih saat bangun tidur dan yang terakhir kita letakkan sebelum tidur. Bersamanya, kita jarang merasa bosan atau punya waktu untuk hanya duduk diam dan melamun. Meskipun memberi kita banyak manfaat, tidak seharusnya kehidupan online menghilangkan kita dari kesenangan hidup di sini saat ini dan berinteraksi dengan dunia fisik. Seharusnya, kehidupan online tidak membuat kita lupa bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang nyata dan menghargai keindahan lingkungan kita, serta tidak membuat kita tersesat dalam gangguan terus-menerus.
Buku ini mengundang kita untuk meletakkan gadget sesekali dan menemukan kembali kesenangan sederhana menghabiskan waktu secara offline. Waktu di mana kita dapat terhubung dengan hal-hal indah di sekitar kita, bukan dengan teks, video, emoji, tetapi dengan mata, telinga, sentuhan, perasaan, imajinasi, dan semua indra kita.
Going Offline adalah undangan untuk melakukan perjalanan yang membawa kita ke jantung kehidupan nyata itu sendiri—untuk menemukan dunia di luar dan bahkan untuk menemukan dunia di dalam, ke jantung tempat jati diri kita berada.
5. The Book of Imaginary Beliefs Oleh Lala Bohang
The Book of Imaginary Beliefs bisa menjadi buku yang sangat membantu untuk melakukan refleksi diri. Berusaha untuk lebih dewasa dalam menyikapi berbagai hal dan tentunya untuk membantu mendefinisikan ulang makna kebahagiaan serta menciptakan kebahagiaan yang kita inginkan. Perasaan ketakutan dan kekhawatiran menjadi diri sendiri dilukiskan dalam ilustrasi dan narasi yang indah dalam buku ini.
“I just want a place to work alone
Where I can spend 60% part of the day inside
With a giant window in front of my table
The table is made from a 100 year-old oak
Without varnish, because shiny things hurt my eyes
It’s reclaimed by my late father’s favourite carpenter
No photos on it because I hate being constantly touched by memories
From the table I can see a prairie through the window
It’s not necessarily beautiful like in a movie
It’s simply green, it always calms my nerves”
Saat harimu terasa lelah, cobalah buka lagi halaman-halaman buku ini. Akan ada saja kalimat dan narasi yang bisa sangat membantu kita menenangkan kembali hati dan pikiran. The Book of Imaginary Beliefs terasa lebih dewasa dengan panjang narasi yang bervariatif serta ilustrasi dan pesan yang menjadi kesatuan yang utuh. Bisa mengoleksi buku ini bakal jadi investasi sendiri untuk membantu kita melewati hidup yang penuh dengan warna ini.