Membaca Melihat Api Bekerja karya M. Aan Mansyur serasa membaca kumpulan cerita yang dipuisikan, dengan kalimat-kalimat serta kata-kata sambung yang sering kali dipecah-pecah secara sembarangan demi memunculkan rima yang teratur. Dalam setiap puisinya, Aan menarasikan bukan hanya perenungan dan perasaan, tetapi juga kritik dan sindiran terhadap hal-hal yang bisa jadi kita anggap “biasa saja” dan tidak perlu dipermasalahkan. Layaknya buah karya seniman pada umumnya, Melihat Api Bekerja, jika boleh dinilai, merupakan perwujudan diri Aan secara hati dan pikiran.
Membaca Melihat Api Bekerja juga merupakan tantangan besar, karena dari 54 puisi yang tersaji, tak banyak yang gampang dimengerti. Beberapa memang mudah dipahami, namun banyak yang lainnya menggunakan kiasan yang teramat kental serta gaya stream of consciousness yang sulit diikuti ujung pangkalnya sehingga dibaca sampai berulang kali pun tidaklah cukup. Di antara yang sulit “ditangkap maknanya” tersebut, yang sangat menarik perhatian adalah salah satu bait dari puisi Mengunjungi Ambon:
“Menjadi diri sendiri adalah filsafat yang sekarat dan alat kontrasepsi yang sudah bocor sebelum dimasukkan ke kemasan dan dijajakan sembarangan.”
Jika dibaca terpisah dari bait-bait lainnya, maka potongan puisi di atas dapat menimbulkan efek cengang dan memicu perenungan. Pertama-tama, apa yang dimaksud dengan “menjadi diri sendiri adalah filsafat yang sekarat”? Apakah, sebagai sebuah pandangan hidup, menjadi diri sendiri sangatlah sulit dilakukan? Begitu sulitnya hingga tak banyak orang yang mau menerapkan lantas ditinggalkan begitu saja menjadi filsafat yang terlantar, nyaris tak bernyawa dan hampir tanpa napas? Lalu, apa pula maksudnya “menjadi diri sendiri adalah alat kontrasepsi yang sudah bocor sebelum dimasukkan ke kemasan dan dijajakan sembarangan”? Apakah menjadi diri sendiri dianggap sebagai alat pelindung diri yang tidak berguna? Karena merupakan alat yang “bocor”, yang menguak bagian kita secara gamblang, prinsip tersebut hanya sia-sia belaka karena memang tak bisa digunakan untuk “melindungi diri”? Begitu pelikkah menjadi diri sendiri di dunia ini? Mungkin demikianlah yang ingin disampaikan bait tersebut.
Jika diperhatikan, Aan banyak berbicara tentang cinta dan kepedihan dalam kumpulan puisinya ini. Banyak sekali kiasan yang digunakan untuk menggambarkan cinta, seperti “Cinta adalah hidangan di atas meja, pelan-pelan dingin dan kau tidak lagi lapar” (dalam Tentang Sepasang Kekasih); “Mereka tidak tahu jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda” (dalam Melihat Api Bekerja); “Cintaku kepadanya melampaui jangkauan kata. Aku cuma mampu mengecupkannya dengan mata” (dalam Barangkali); dan “[…] cinta juga bisa membunuhku. Berkali-kali dan berkali-kali lebih perih” (dalam Kau Membakarku Berkali-kali). Dari kutipan-kutipan puisi tersebut, mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa bagi Aan cinta tak lain adalah kepedihan yang bertubi-tubi: jauh, dingin, dan menyakitkan. Apalagi jika dilihat dari puisi berjudul Mengisahkan Kebohongan, di mana kata-kata cinta bisa jadi cuma omong kosong belaka. Atau dalam puisi Menikmati Akhir Pekan, di mana Aan berkata bahwa ia lebih suka berada di antara orang-orang yang patah hati, yaitu orang-orang yang jujur dan berbahaya (jika memang jujur itu berbahaya). Mungkin, bagi Aan, orang-orang yang biasanya bermesraan di akhir pekan bukanlah orang-orang yang sejujurnya bahagia, meski punya pasangan dan cinta.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, selain perenungan dan perasaan, Aan Mansyur juga secara “sembunyi-sembunyi” melayangkan kritik dan sindiran kepada pihak maupun suatu hal tertentu. Seperti yang jelas-jelas ia layangkan kepada sosok-sosok terkenal dalam puisi Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia, juga seperti yang tersirat dalam puisi Kepada Kesedihan, di mana pada salah satu baitnya ia berkata, “Memejamkan mata berarti menjadi politikus”. Di sini Aan seolah menyindir kaum politikus yang selalu menutup mata terhadap apa pun, termasuk dan terutama terhadap kebenaran. Atau bisa jadi Aan sebenarnya ingin mengatakan bahwa dengan “menutup mata” terhadap kebenaran, berarti kita telah menjadi seperti para politikus: busuk. Karena itulah di akhir bait tersebut ia menambahkan, “Aku memilih hidup sebagai penjahat yang ceroboh—cuma tahu melukai hidup sendiri”.
Secara keseluruhan, Melihat Api Bekerja merupakan kumpulan puisi yang kompleks: mengusung berbagai tema, menerapkan berbagai bentuk, menceritakan berbagai hal, dan menggunakan rima-rima yang mengandung berbagai jebakan baca. Namun justru itulah yang membuat Melihat Api Bekerja menjadi sebuah karya yang kaya. Ditambah lagi, puisi-puisi Aan Mansyur juga ditemani ilustrasi-ilustrasi hasil guratan Muhammad Taufiq yang sangat luar biasa, yang berperan merepresentasikan hasil tulisan Aan tersebut dalam bentuk gambar. Bisa dibilang, selain kompleks, Melihat Api Bekerja juga merupakan karya yang komplit. Saya akan menutup resensi ini dengan salah satu bait dalam puisi yang berjudul Menyunting Sajak Untukmu, yang sedikit banyak mewakili kompleksnya isi dan makna puisi-puisi Aan yang terkumpul dalam buku ini serta kesulitan saya dalam mencernanya:
“Singkirkan semua yang cuma kata. Baca dan baca lagi hingga hilang maksudku menuliskan sajak ini. Apakah kau sudah merasakan hal yang seak mula kupikirkan? Baiklah, akan kuhapus dan memulainya lagi.”
Judul Buku: Melihat Api Bekerja
Penulis: M. Aan Mansyur
Ilustrator: emte
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2015 Harga: Rp53.000,00
Tebal: 160 halaman
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Cover: Softcover
ISBN: 978-602-03-1557-7