Lewat tulisan resensi kali ini, saya akan mengupas sebuah buku novel berjudul KKN Desa Penari dengan sudut pandang Widya. Sebuah novel hasil adaptasi thread viral di sosmed Twitter dari akun @simpleman.
Part dalam kisah KKN Mahasiswa ini berawal dari sudut pandang Widya, tetapi pada bagian akhir berubah menjadi point of view dari Nur.
Dari kedua sudut pandang ini akan memberikan kesan detail dari setiap kejadian serta pembaca lebih mudah memahami setiap peristiwa di novel ini karena ada beberapa bagian yang masih janggal pada saat sudut pandnag Widya maka akan dijelaskan pada sudut pandang Nur, sehingga pembaca tidak bingung dan plot twist.
Diceritakan KKN mahasiswa ini dilakukan pada tahun 2009, tepatnya bulan Desember. Kisah dalam buku ini langsung pada penampilan inti masalah yakni penentuan tempat KKN yang akan Widya dan kawan-kawannya kunjungi.
Cara penulis menampilkan pokok masalah tentang tempat KKN di awal cerita sempat membuat beberapa pembaca mempertanyakan bagaimana keseharian Widya dan kawan-kawan saat di kampus, karena hanya dimunculkan satu atau dua halaman seputar bagaimana watak widya dan teman-temannya.
Tetapi, tak sedikit juga pembaca merasa terbantu dengan adanya pemunculan inti masalah langsung di awal kisah, sehingga pembaca langsung dapat mendalami peristiwa selanjutnya tanpa bertele-tele.
Setelah tempat KKN disetujui oleh pengawas lapangan, Widya mengumpulkan teman yang bersedia bergabung dalam kelompoknya. Lewat diskusi akhirnya didapat nama-nama kelompok KKN, yaitu Bima, Anton, Wahyu, Nur, Ayu, dan Widya sendiri.
Kejadian mulai terasa aneh saat mereka berenam sedang melakukan perjalanan ke tempat tersebut. Suasana desa di sini diceritakan dengan ringan dan disampaikan dengan pilihan kata yang mudah dimengerti.
Kejanggalan pertama diawali dengan perjalanan terasa sangat lama, padahal disampaikan bahwa jarak gapura selatan atau jalan besar menuju ke dalam desa hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit, akan tetapi Widya merasa sangat lama.
Keanehan selanjutnya yang mereka rasakan ialah Widya mendengar sayup-sayup suara gong, dan ramai. Widya semakin dibuat tercengang ketika ia melihat sosok manusia tengah menelungkup seakan memasang pose sedang menari, berlenggak-lenggok sesuai irama.
Penceritaan kejadian mistis nan horror pada kisah ini berhasil membuat pembaca bergidik ngeri, permainan kata dan olahan kalimat yang padu sehingga membuat pembaca dapat merasakan atmosfir yang sama seperti Widya rasakan.
Kejadian janggal satu persatu terlihat baik oleh Wdiya maupun Nur, pada bagian awal ini menggunakan sudut pandang Widya. Tak heran beberapa kali Widya mengamati ada yang aneh dari Nur.
Pertama saat melakukan observasi di desa ini agar mengetahui proyek apa sajakah yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Gelagat aneh yang Widya rasakan kepada Nur pertama kali ketika Pak Prabu, sebagai kepala desa sedang menjelaskan mengapa nisan di beberapa makam-makam dililit menggunakan kain hitam, tetapi Widya memilih diam.
Sesuai perkiraan Widya, tak selang beberapa lama, Nur terhuyung dan hamper jatuh, untung saja Anton sigap menahan tubuh Nur. Setelah kejadian tersebut ada peristiwa yang lebih membuat bulu kuduk pembaca berdiri dan tak terasa detak jantung berdegup lebih cepat daripada ritme sebelumnya. Kejadian ini ketika Widya hendak mandi sore bersama Nur.
Nur awalnya tidak bersedia, akan tetapi bujuk rayu Widya dapat meruntuhkan rasa malas Nur, tetapi dengan syarat yang mandi terlebih dahulu adalah Nur baru setelahnya Widya. Setelah menyepakati perjanjian tersebut mereka berdua bergegas ke kamar mandi umum.
Sebelumnya kamar mandi ini adalah MCK satu-satuya di desa ini, karena kebanyakan aktifitas MCK masyarakat dilakukan di sungai dan sekitarnya, jadi tak heran bahwa rumah-rumah warga tidak ditemui kamar mandi.
Setibanya disana, langit mulai kemerahan menandakan malam akan segera tiba, dengan segera Nur mulai membasuh badan dan melaksanakan ritual mandi pada umumnya, di sisi lain, Widya dan pikirannya berkecamuk dibalik bilik kecil itu, segala pemikiran yang awal ia rasakan di sini sangat kuat tertuju pada sinden yang tak jauh dari tempatnya berdiri, ia merasakan ada yang mengamatinya dan menyuruh ia ke sinden.
Pikiran Widya buyar ketika ia mendengar dari dalam kamar mandi suara kidung. Ia bingung apakah selama ini Nur bisa bersenandung kidung.
Sampai pada bab ini, pembaca disuguhkan kejadian yang membuat pembaca ingin terus dan terus membaca, dan bertanya-tanya bagaimana kejadian selanjutnya, siapakah yang akan seamat, dan siapakah yang akan mati, karena penampilan suasa mistis dan gangguan supranatural semakin ditonjolkan.
Suasana semakin mencekam setelah Widya tidak mendengar gemiricik air dari Nur, Widya panik dan menggebrak-gebrak pintu bilik itu, “NUR, BUKA NUR!” teriak Widya tak henti-henti hingga Nur muncul dari balik pintu dan melihat wajah Widya yang pucat, terlihat juga jiwa Nur yang terguncang.
Pada bagian ini pembaca dibawa perasaan dan merasa seperti diposisi Widya ketika panik dan seperti ada yang melihat.
Tetapi penggambaran Nur saat dikamar mandi ketika memanggil Widya tidak dimunculkan, sehingga perasaan terguncang dari Nur karena apa tidak dijelaskan pada kejadian ini.
Kejadian yang tak kalah meningkatkan hormone adrenalin ialah kejadian saat malam hari, ketika semua tertidur, tengah malam Nur terjaga dan pergi ke tengah lapang, lalu tanpa sepengetahuannya, Widya mengikuti, ia melihat Nur menari bak penari professional di tengah tanah lapang itu.
Namun, semakin lama gerakan tarian Nur semakin menggila, sehingga Widya berusaha menghentikan Nur, akan tetapi saat melihat kedua mata Nur hanya warna putih, tidak ada pupilnya, saat itu juga ia tahu bahwa yang di depannya ini bukanlah Nur, tetapi orang lain. Namun, kejadian mendebarkan terjadi, ketika Wahyu tiba dan menarik lengan Widya.
Dari sudut pandang Wahyu, ia melihat Widya menari dengan handalnya. Dilain sisi, Widya sangat yakin bahwa yang menari adalah Nur. Pada peristiwa ini penggambaran setting waktu, suasana membuat pembaca ikut serta ke dalam cerita ini.
Tak kalah mengerikan, inti dari cerita ini ialah ketika ternyata Bima diam-diam menyukai Widya. Namun, Bima ditipu daya oleh jin, yakni dengan menjelma sebagai mimpi buruk Bima, dimana Widya terjebak di tapak tilas dengan banyak ular dan jin yang mengelilinginya tapak tilas merupakan tempat terlarang karena tempat itu adalah perbatasan antara manusia dan penunggu hutan di sana, Bima harus memberikan mahkota lengan penari (kawaturih) kepada Widya untuk membebaskannya dan agar membuat Widya menyukai Bima.
Dia meminta tolong Ayu agar memberikan kawaturih itu kepada Widya, Namun Ayu tidak memberikannya dengan alasan hilang. Hingga tiba disuatu malam, Widya mengikuti Bima pergi ke tempat terlarang itu “tapak tilas” sesampainya di sana Widya mendengar suara tangisan, orang tersebut ialah Ayu. Atensi Widya beralih ke gubug kayu jati, ia mengintip melalui celah kecil.
Widya terkejut melihat Bima sedang berendam di sinden bersama seekor ular besar. Melihat kejadian itu Widya lari ketakutan. Para makhluk mengerikan itu menari dengan seorang penari ditengahnya, yaitu Ayu, Sehingga Ayu dan Bima terjebak pada perjanjian dengan jin yang berujung melakukan hubungan badan dan berimbas pada meninggalnya Ayu dan Bima.
Cerita yang kompleks dikupas dari penampilan inti masalah diawal halaman buku ini memang sukses membuat pembaca bersiap dengan segala kemungkinan terjadi, dari hal yang awalnya membuat hah, apa, kok bisa, berakhir akhir yang diluar perkiraan.
Akan tetapi dibalik kelebihannya itu terdapat beberapa kekurangan yakni mengenai segi penokohan, akibat dari pemunculan inti masalah secara langsung sehingga pembaca belum begitu mendalami karakter setiap tokoh, apalagi beberapa tokoh perannya beberapa.
Dan juga, karena cerita ini berasal dari pulau jawa, penggunaan Bahasa daerah kurang diperdalam di buku ini, sehingga tidak menunjukkan secara real apa yang terjadi.