Berdiri pada 2014, Post Bookshop bukan sekadar tempat berjualan, melainkan ruang yang begitu personal. Begitulah konsep yang Teddy W. Kusuma usung ketika mendirikan toko buku tersebut bersama istrinya, Maesy Ang. “Aku ingin jaga toko buku sampai tua, karena ini tempat yang personal,” ujar Teddy saat berbincang dengan Tempo, Senin, 5 Juni lalu. Teddy percaya bahwa setiap pengunjung mempunyai pengalaman pribadi ketika berkunjung ke toko buku. Karena itu, ia merancang Post Bookshop bergaya minimalis dengan kesan yang nyaman: dekorasi sederhana, pilihan musik teduh sebagai pengiring suasana, dan yang paling utama adalah koleksi buku.
Teddy menuturkan, fokus utama Post Bookshop di awal perjalanannya adalah menghadirkan buku-buku yang diterbitkan penerbit independen yang tidak tersedia di toko buku besar. Tokonya juga menghadirkan alternatif bacaan baru kepada masyarakat pembaca melalui buku-buku berbahasa Inggris. Ikhtiar itu mereka lanjutkan dengan membuat sejumlah kegiatan di toko. Salah satunya diskusi buku yang baru terbit. Biasanya diskusi digelar secara intim dengan jumlah peserta terbatas, 12-14 orang. Sebagai pengembangan usaha, Teddy dan Maesy mendirikan penerbitan independen bernama Post Press pada 2016. Teddy mengatakan buku terbitan Post Press masih dirawat dalam jangka panjang. Dengan kata lain, buku terbitan mereka akan selalu ada dan bisa dimiliki oleh pembaca. “Jadi akan selalu ada, setidaknya di sini. Jadi ketika orang cari pasti ada,” tuturnya.
Post Bookshop, Teddy menambahkan, juga berusaha menciptakan peristiwa berkunjung ke toko buku sebagai sesuatu yang menyenangkan. Sebagai toko buku independen dengan biaya operasional dan orang-orang yang relatif sedikit, Teddy percaya jalur tersebut lebih mungkin ditempuh untuk dapat bertahan.
Bagi Teddy, setiap perjumpaan dengan para pengunjung mempunyai peristiwa masing-masing. “Nah, toko buku kecil biasanya seperti itu. Jadi ada interaksi personal,” ucapnya.
•••
Di tengah tutupnya sejumlah toko buku besar, seperti Gunung Agung yang akan menutup semua gerainya tahun ini, kehadiran toko buku alternatif boleh dibilang memberi harapan. Kehadiran mereka yang menjamur di sejumlah kota ikut menggairahkan dunia perbukuan di Tanah Air yang lesu. Selain Post Bookshop di Jakarta, ada toko buku alternatif Buku Akik di Yogyakarta. Saat Tempo berkunjung ke toko buku di Jalan Kaliurang, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Senin, 5 Juni lalu, tersebut, alunan musik Silampukau mengalun syahdu dari piringan hitam yang diputar. Lagu-lagu band asal Surabaya itu menemani pengunjung toko buku milik Tomi Wibisono tersebut.
Sebagian pengunjung berselonjor dan khusyuk membaca, yang lain duduk-duduk di karpet perpustakaan. Ada juga yang membaca sambil duduk di kursi menghadap meja. Sebagian lagi melihat-lihat buku dan buah tangan berupa kaus, pin, dan tote bag. Kain berwarna hijau bertulisan kutipan sastrawan dan filsuf Prancis, Voltaire, berisi ajakan membaca tampak menjuntai. Mesin-mesin tik tua dipajang di sela-sela buku.
Buku Akik lebih banyak menjual buku terbitan penerbit independen serta menempatkan buku-buku lawas dan langka di sudut perpustakaan. Etalase buku lebih banyak memajang buku sastra, filsafat, dan musik. Contohnya buku filsuf Friedrich Nietzsche, Karl Marx, dan Rosa Luxemburg. Jumlah buku yang populer serta buku motivasi minor dan tidak ditaruh di etalase utama. Berdiri pada 2018, Buku Akik berinovasi dengan berbagai cara untuk dapat bertahan di tengah tutupnya sederet toko buku arus utama. Selain memberi ruang lebih untuk buku-buku terbitan penerbit independen, Tomi menempuh cara yang bisa menghadirkan pengalaman ketika orang-orang, sebagian besar kalangan muda, berkunjung ke toko buku.
Tomi menjelaskan, Buku Akik menekankan sentuhan personal, penataan buku yang membawa orang pada sensasi rasa ingin tahu, suasana toko yang klasik, dan pernak-pernik buah tangan yang unik. “Pengalaman berkunjung itulah yang kami jual,” katanya. Tomi mengungkapkan, Buku Akik terinspirasi sejumlah toko buku yang ia kunjungi di luar negeri. Contohnya BooksActually dan Cat Socrates di Singapura. Dia juga pernah berkunjung ke Shakespeare and Co, toko buku legendaris sekaligus perpustakaan di Prancis. “Toko-toko buku itu menjual suasana yang terasa nyaman dan merchandise,” ujarnya.
Penjualan merchandise itulah, tutur Tomi, yang membantu toko bukunya bertahan. Sebagian barang niaga tersebut berupa tote bag yang mereka produksi sendiri. Ada pula merchandise hasil karya seniman Eko Nugroho. “Merchandise selamatkan kami karena margin keuntungan penjualan buku sangat kecil,” ucap alumnus Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini. Pendekatan personal dan kekuatan komunitas juga ditempuh toko buku Jual Buku Sastra. Toko buku milik pasangan Indrian Koto dan Mutia Sukma yang berada di tengah persawahan di Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu menampung buku-buku sastra penerbit independen. Toko ini berfokus pada komunitas dan suasana kekeluargaan yang membentuk ikatan bersama para pembaca dan pemburu buku. Orang yang datang ke toko buku tersebut tak harus membeli buku.
Sembari menikmati semilir angin dan pemandangan hamparan sawah, setiap pengunjung bebas menyeduh kopi, sekadar mengobrol, dan berkonsultasi tentang tulisan dengan pemilik yang juga sastrawan. Sebagian tamu, di antaranya penulis, bahkan kerap menginap di toko buku ini. Dari komunitas itulah muncul calon pembeli baru. Menurut Indrian, Jual Buku Sastra bisa bertahan selama 18 tahun karena pengelolaannya tidak mengandalkan banyak tenaga kerja. Toko buku yang difungsikan sebagai rumah tinggal dan ruang bersama itu hanya dikelola Indrian dan Mutia. Mereka juga hanya menjual buku spesifik sastra, menerbitkan buku dalam jumlah terbatas, dan membatasi sistem konsinyasi atau penitipan buku dari toko buku.
Penerbitan buku dalam cetakan terbatas, kata Indrian, menjadi jalan untuk menekan risiko kerugian karena mereka tidak memerlukan modal yang besar dengan mempertimbangkan serapan pasar. Contohnya menerbitkan satu buku dengan cetakan pertama hanya 100 eksemplar. Dalam satu bulan, Jual Buku Sastra hanya menerbitkan dua-tiga buku. Semua proses penyusunan buku mereka kerjakan sendiri, dari pengaturan tata letak dan desain hingga penyuntingan. “Kami kelola secara tradisional dan ramping karena sejak awal kami tidak berniat jadi toko buku komersial,” ujar Indrian.
Mutia menambahkan, Jual Buku Sastra tidak pernah jorjoran berpromosi. Modal sosial dengan memelihara massa dalam komunitas bagi mereka sudah cukup untuk menyebarkan informasi. “Pendekatan yang intim jadi kekuatan. Mereka yang datang seperti keluarga baru,” ucap Mutia. Hingga kini, penjualan buku di toko ini stabil, setiap bulan rata-rata 200 buku.
Warung Sastra, toko buku independen di Karangwaru, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, juga bersiasat agar bisa bertahan. Ari Bagus Panuntun, pendiri Warung Sastra, membuat bisnis warung makanan dan minuman di toko buku itu. Toko buku itu sekaligus menjadi tongkrongan anak-anak muda layaknya kafe. “Segmen kami anak-anak muda,” tutur Ari. Toko buku yang berdiri pada 2017 ini mengandalkan promosi melalui Instagram untuk menarik minat pembeli. Warung Sastra juga kerap menggelar diskusi buku bertema tertentu di luar buku arus utama. Belum lama ini, misalnya, mereka mendiskusikan buku berjudul Lubang Kelam(in) karya seorang transpuan, Jessica Ayudya Lesmana.
•••
Tumpukan buku aneka judul mengisi rak kayu cokelat yang disekat-sekat seperti di perpustakaan. Sebagian buku lain bertumpuk tersebar di lantai dan meja kayu, juga di dalam tumpukan kotak-kotak dus kertas. Di rumah sewaan di Jalan Cikutra Baru, Kota Bandung, itu, CV Ultimus mengubah fungsi hunian menjadi toko buku, kantor penerbitan, sekaligus gudang. Belakangan, hanya segelintir orang, termasuk penulis, yang datang ke sana untuk mengobrol atau mengikuti rapat. Selebihnya, tempat itu sepi dari kegiatan publik, seperti diskusi, kajian, dan bedah buku. “Kami bikin acaranya di luar Ultimus, kerja sama dengan beberapa komunitas di tempat lain,” kata Bilven Gultom, 45 tahun, pendiri dan pengelola Ultimus, kepada Tempo, Selasa, 6 Juni lalu.
Pada Maret lalu, misalnya, mereka menggelar acara bincang buku terbaru, Tuhan Menangis, Terluka, di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, yang juga dihadiri penulisnya, Martin Aleida. Lalu di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta, mereka menghelat diskusi tentang kondisi para eksil politik 1965-1966 pada April lalu.
Bilven menuturkan, sekelompok orang pernah menggeruduk dan membubarkan acara diskusi bertajuk “Gerakan Marxis Internasional” di Ultimus pada 14 Desember 2006. Pembicara, moderator, dan belasan hadirin digiring ke markas kepolisian Kota Bandung. Mereka dibebaskan setelah 1 x 24 jam. “Karena tuduhan menyebarluaskan komunis tidak terbukti,” ujar Bilven.
Saat itu, Bilven menambahkan, Ultimus disegel sepuluh hari. Segel baru dibuka polisi pada malam Natal dengan disaksikan tentara serta ketua rukun tetangga dan rukun warga setempat. Menurut Bilven, buntut baiknya, setelah kejadian itu, banyak orang yang mengenal Ultimus. “Kami dapat promosi gratis dan banyak yang menawarkan naskah untuk kami terbitkan, termasuk yang kiri-kiri,” katanya.
Sedari awal, boleh dibilang Ultimus telah mengambil “jalur kiri”. Enam pendirinya, termasuk Bilven, adalah teman sekomunitas literasi di kampus Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, Bandung. Pengalaman beberapa kali menggelar acara literasi, termasuk penjualan buku, diskusi, dan interaksi dengan banyak penerbit buku, mendorong mereka membuka Toko Buku Ultimus pada 15 Januari 2004 di Jalan Karapitan, Bandung.
Setahun berikutnya, mereka pindah ke Jalan Lengkong Besar tepat di depan kampus Universitas Pasundan hingga 2008. Kemudian tempat ketiga sebelum yang sekarang adalah di Jalan Rangkasbitung, seberang Rumah Tahanan Kebonwaru, yang dihuni selama 2009-2012. Rak toko mereka pada awalnya berisi buku-buku sosial humaniora seperti filsafat dan sejarah terbitan dari Yogyakarta yang ketika itu berlimpah.
Dalam perjalanannya, satu per satu pendiri Ultimus hengkang karena bekerja dan berkeluarga di luar Bandung. Sejak tahun keempat, Bilven, yang mengelola toko itu sendiri, kemudian melapis usaha toko dengan penerbitan buku. Pertimbangannya, menurut Bilven, Ultimus tidak bisa bertahan jika hanya mengandalkan penjualan buku. Sebab, saat itu cukup banyak toko buku alternatif yang muncul dan biaya operasional toko terhitung tinggi. Dia memikirkan cara mendapat pemasukan lain dari luar toko buku tapi tetap saling melengkapi. “Pikiran kami untuk menerbitkan dan mendistribusikan buku,” ujarnya.
Kalau hanya dari toko buku, Bilven menambahkan, pemasukan habis hanya untuk biaya operasional, seperti membayar sewa tempat dan pengelola serta membuat kegiatan. Penerbitan dan distribusi buku pun bisa menjangkau komunitas atau pembaca lebih luas. Kini Ultimus yang bertahan menjelang dua dekade usianya memiliki empat karyawan tetap di bagian yang mengurus percetakan, redaksi, dan distribusi. Saat buku naik cetak atau ada kegiatan, mereka merekrut delapan-sepuluh pekerja tambahan paruh waktu.
•••
Kedai Buku Semut Alas di Tlogomas, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur, punya cara sendiri untuk menarik minat pengunjung. Pemilik toko buku itu, T.S. Hendra Prasetya, yang akrab disapa Hendro, selalu menawarkan segelas kopi kepada setiap pengunjung. “Tidak ada masalah juga jika pengunjung pulang tanpa beli buku setelah minum kopi. Hitung-hitung menyenangkan orang dan menambah teman,” tutur Hendro kepada Tempo, Senin, 5 Juni lalu.
Berdiri pada 2014, nama Semut Alas Hendro pilih karena dia suka masuk hutan dan naik gunung dengan membawa buku bacaan. Alasan kedua, semut selalu berkerubung dan diharapkan buku bisa mengumpulkan orang-orang. Sebelum toko berdiri, Hendro rajin mencatat alamat kantor, alamat surat elektronik, dan nomor telepon kantor sejumlah penerbit yang tertera pada lembar kredit buku. Maklum, saat itu media sosial belum meraja.
Ada sekitar 100 penerbit yang dihubungi Hendro untuk diajak bekerja sama. Mayoritas penerbit berada di Pulau Jawa —khususnya Yogyakarta dan Bandung— selebihnya di Sumatera. Hendro memprioritaskan penerbit buku kritis dan progresif kesukaannya. Sebagian besar penerbit bersedia memasok buku ke Kedai Semut Alas. Jadilah buku beragam judul memenuhi rak Kedai Buku Semut Alas.
Bukan hanya di toko, sekali waktu Hendro juga menggelar lapak di luar, seperti dalam pameran buku. Hendro mengungkapkan, hampir 80 persen pemasaran Semut Alas dilakukan secara daring. Hendro dan kawan-kawan giat berpromosi lewat dua akun Instagram, masing-masing untuk lapak buku baru dan tua serta langka. Sebelum pandemi Covid-19 melanda pada Maret 2020, Hendro bisa membukukan omzet Rp 20-30 juta per bulan. Biasanya, tingkat kelarisan buku ditentukan oleh isu dan tema, seperti kajian perempuan dan oligarki.
Hendro juga tak ingin Kedai Buku Semut Alas hanya menjadi toko buku. Maka ia giat mendongkrak jenama tokonya dengan mengadakan kegiatan diskusi bersama mahasiswa, dosen, akademikus, dan pakar. Sebelum muncul pandemi Covid-19, Hendro bisa menggelar acara diskusi publik tiap pekan. Upaya mendekatkan buku dengan pembaca sebagai gaya hidup menyenangkan juga dilakukan Patjar Merah, festival literasi dan pasar buku yang kerap membikin acara di sejumlah tempat di Indonesia. Pada Mei lalu, mereka membuka toko buku bernama Kedai Buku Patjar Merah di kawasan Pos Bloc, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Menurut pendiri Patjar Merah, Windy Ariestanty, pendirian toko itu bermula ketika Patjar Merah mendapat tawaran dari Pos Bloc. Setelah duduk bersama dan bertukar pikiran mengenai persoalan di dunia perbukuan belakangan ini, Patjar Merah membuka toko buku di Pos Bloc. Sebulan berjalan, aktivitas di Kedai Buku Patjar Merah di luar dugaan. Banyak pengunjung yang datang ke sana dengan usia beragam. Kata Windy, orang-orang yang datang ke Kedai Patjar Merah juga berasal dari relasi yang selama ini terbangun melalui festival keliling di sejumlah tempat. “Aku pikir ramainya karena ketika kami berkeliling kami bangun relasi. Patjar Merah bukan hanya kerja kami, Patjar Merah dirawat oleh mereka yang mencintai buku,” ucap Windy kepada Tempo via telepon, Rabu, 7 Juni lalu.